Aswan

Cerita Cinta dari Shanghai

In Film on Oktober 17, 2008 at 9:19 am

Judul: THE PAINTED VEIL
Tahun: 2006. Genre: DRAMA
Sutradara: JOHN CURRAN
Pemain: EDWARD NORTON, NAOMI WATTS

TIAP orang memiliki cara tersendiri untuk mencintai orang yang dikasihinya. Tetapi tidak jarang, orang yang dicintai tidak tahu kalau ia sangat dicintai. Cinta kemudian menjelma menjadi semacam bahasa ‘asing’. Terindera namun tidak mudah untuk dimaknai. Bahkan diabaikan. Dari ide seperti itu, cerita dalam The Painted Veil ini dibangun.

Rangkaian gambar film bertutur dalam perspektif Kitty Fane (yang diperankan Naomi Watts). Wanita yang menjadi tokoh utama ini terlibat hubungan asmara dengan pria bernama Charlie Townsend. Film menjadi menarik karena Kitty sebelumnya telah menikah dengan seorang ahli bakteri Walter Fane (Edward Norton). Celakanya lagi, hubungan antara Kitty dan Townsend diketahui oleh Walter.

Apa yang akan dilakukan oleh Walter ketika mengetahui istrinya berhubungan intim dengan pria lain? Bagaimana reaksi Kitty yang terjebak dalam rasa bersalah (kepada suami)  dan cinta yang membara (kepada Townsend yang ternyata juga telah memiliki istri)? Cerita dalam film ini berjalan dengan kedua ‘mesin’ (pertanyaan) tadi.

Walter sejak awal memang sangat mencintai Kitty. Berbeda dengan Kitty. Tanpa perasaan cinta, ia mau menikah dengan Walter. Semua lebih karena keinginan untuk lepas dari orang tuanya di London. Ia pun bersedia mengikuti Walter yang bertugas di Shanghai. “If a man hasn’t what’s necessary to make a woman love him then it’s his fault not hers?” Begitu Kitty menyerang Walter. Semacam pembelaan atas hubungan yang dijalinnya dengan Townsend.

Townsend sendiri tidak terlalu dominan tampil dalam film yang diangkat dari novel karya W. Somerset Maugham ini. Sepertinya ia dimunculkan di awal cerita sebagai pemicu untuk membangunkan kesadaran Kitty atas bahasa cinta yang selama ini digunakan Walter. Ia juga muncul di akhir cerita untuk ‘menguji’ kedewasaan Kitty atas cinta yang ia temukan dari Walter.

Meski mengawali dan mengakhirkan ceritanya di London, justru setting pedalaman Shanghai (China) yang lebih menonjol dalam film ini. Sutradara John Curran begitu piawai menampilkan eksotisme alam Asia. Cahaya matahari. Bukit dan lembah. Halimun. Hamparan sawah menghijau. Danau dan sungai yang tak beriak. Jalan-jalan desa yang berkerikil. Bahkan suasana malam dengan lentera yang temaram.

Cerita yang menggelinding perlahan, terasa melemahkan ‘ketegangan’ emosional yang seharusnya ada di setiap babak. Untungnya ini dapat sedikit teratasi dengan teknik pengambilan gambar yang indah. Konteks China yang saat itu masih dalam penjajahan Inggris (tahun 1925) juga tersaji apik. Kita pun jadi mengerti mengapa tokoh seperti Kitty dan Walter (yang berkebangsaan Inggris) saat bepergian ditandu layaknya tuan.

The Painted Veil seolah ingin bercerita tentang cinta yang kuat dan tulus. Meski tak mudah dimaknai oleh orang yang dicintai. Juga tentang cinta yang keliru. Wanita mungkin lebih baik menerima cinta dari lelaki yang mencintainya, daripada mengharapkan cinta dari lelaki yang dicintainya. Terakhir, walau sekilas, pesan ibu Kitty yang begitu superior dapat menjadi tagline film ini: “When love and duty are one, grace is within you”.***

  1. Saat wanita mencintai terasa sangat indah..memang..!,dan banyak film mengungkapkan itu,tapi saat seorang pria mencintai seluruh dunia dibuat tercengang karena cintanya adalah segalanya…

Tinggalkan komentar